BABELTIMES.CO – Politik Uang merupakan suatu hal yang seakan-akan tidak dapat terpisahkan dalam pemilihan umum terutama dalam konteks pemilihan umum legislatif. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar ungkapan bahwa seorang calon legislatif akan memiliki kesempatan yang sangat kecil untuk meraih kemenangan jika tidak menggunakan banyak uang dalam pencalonannya. Untuk memenangkan kontestasi, politisi melanggengkan banyak cara untuk mendapatkan suara rakyat, diantaranya adalah politik uang dan serangan fajar.
Untuk menghindari persoalan kekaburan makna dari istilah politik uang ( Sukmajati dan Aspinal, 2015) mendefinisikan istilah tersebut dengan konsep patronase dan klientelisme yang memiliki makna yaitu patronase merujuk pada materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih dan klientelisme merujuk pada karakter relasi antara politisi dan pemilih. Klientelisme merupakan relasi kekuasaan yang personalistik dan keuntungan material dipertukarkan dengan dukungan politik. lebih lanjut (Aspinal dan Berenschot, 2019) menjelaskan bahwa esensi dari politik klientelistik adalah quid pro quo yaitu sesuatu untuk sesuatu “pertukaran yang kontingen”. Dalam konteks ini, politisi akan menawarkan suatu keuntungan kepada pemilih dan kemudian pemilih akan membalasnya dengan pemberian suara pada saat pemilihan umum. Unsur pertukaran timbal balik antar politisi dan pemilih ini membedakan antara klientelisme dengan politik programatik yang dimana dalam konteks ini para calon atau partai menawarkan kebijakan-kebijakan yang luas dan berdampak bagi banyak orang tanpa memperhatikan dukungan politik yang diberikan pada saat pemilihan umum. Lebih lanjut, (Gellner dan Waterbury dalam Umagapi, 2021) menjelaskan bahwa politik uang hidup dalam masyarakat yang memiliki karakter patron-client.
Berdasarkan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Pengaruh Politik Uang dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang ditulis dalam laporan Kompas.com (Purnamasari, 2019) menjelaskan bahwa 40 Persen responden menerima uang dari para peserta Pemilu 2019 akan tetapi tidak tidak mempertimbangkan memilih mereka. Sementara 37 persen lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan untuk memilih pemberi. Selain survei terhadap publik, hal ini juga ditanyakan kepada tokoh atau elite yang menjadi responden. Hasil survei tersebut menunjukkan 83 persen menilai bahwa pemilih akan mempertimbangkan pemberi uang, barang, atau jasa dari calon legislatif atau partai politik yang mereka terima saat memilih. Selain itu, ada 17 persen yang menyatakan hal tersebut tidak dipertimbangkan. Dalam konteks ini, sejalan dengan apa yang disampaikan oleh (Aspinal dan Berenschot, 2019) menunjukkan fakta bahwa politisi dan pemilih merupakan penggerak dari praktik klientalistik yang masif sehingga praktik ini sangatlah sulit untuk diubah.
Salah satu penyebaran politik klientelistik atau politik uang dilakukan pada detik-detik menjelang pemilihan umum, hal ini biasanya kita kenal dengan istilah “Serangan Fajar”. Biasanya “Serangan Fajar” dilakukan di masa-masa tenang karena waktu ini dianggap waktu terbaik untuk mempengaruhi suara pemilih, salah satu target utama dalam praktik serangan fajar adalah pemilih yang belum menentukan calon legislatif yang akan ia pilih atau disebut dengan pemilih yang masih abu-abu serta pemilih yang dianggap bisa berkompromi, dengan harapan perubahan suara pemilih bisa terjadi.
Strategi ini dilakukan dikarenakan rakyat atau pemilih cenderung akan mengingat pemberian uang atau barang tersebut jika dilakukan di detik-detik pemilihan, mengingat banyaknya tawaran dan pemberian barang atau uang yang diberikan pada saat masa-masa kampanye pemilihan umum. Tentunya, praktik ini melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang di dalamnya secara eksplisit dijelaskan bahwa pelaku dalam kegiatan ini akan terkena pasal pidana dengan ancaman hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 48 Juta.
Praktik “Serangan Fajar” tentunya merugikan rakyat atau pemilih. Praktik-praktik ini membuat rakyat atau pemilih cenderung langsung ditinggalkan dikarenakan para legislatif terpilih akan lebih berfokus pada pengembalian uang yang diberikan, sehingga kemudian membuat potensi besar para legislatif yang terpilih untuk menggunakan berbagai macam cara untuk mengembalikan modal yang telah mereka gelontorkan salah satunya adalah praktik korupsi. Tentunya, praktik-praktik inilah yang kemudian membuat demokrasi kita menjadi semakin rusak. Politisi dan pemilih memiliki peran andil yang besar untuk menentukan arah demokrasi “Pemilihan Umum” akan dibawa, akan terus berorientasi pada praktik politik klientelisme atau politik programatik.
Penulis : Ari Surida (Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada)
Isi tulisan menjadi tanggungjawab penulis.